Kamis, 16 April 2009

Caleg dan Rakyat Laksana Sejoli


Selama masa kampanye pemilihan legislatif berlangsung, warga masih ”adem-ayem” saja dan terkesan lesu. Mereka lebih memilih larut dalam pekerjaan atau tenggelam dalam mobilitas sosial masing-masing. Mungkinkah ini efek dari seruan berbagai pihak yang menggembar-gemborkan pemilu damai? Nampaknya tidak, toh saat seremonial ikrar bersama kampanye damai beberapa waktu lalu di Jakarta, masih juga diwarnai kericuhan.

Dinamika kelesuan yang menyembul ke permukaan ini sejatinya adalah PR besar bagi Caleg dan Parpol. Mereka yang kini bagai senter kehabisan batere sebelum malam tiba, harus bekerja keras mendapatkan simpati calon pemilih. Paling tidak, sekedar untuk membuat warga berkumpul dan mendegarkan orasi sekaligus unjuk kekuatan. Dana mereka telah terkuras habis untuk pembuatan pamflet, spanduk, poster, dan baliho beberapa bulan terakhir. Belum lagi semenjak terbitnya pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 yang kian memaksa mereka menyediakan amunisi tambahan untuk membiayai kompetisi internal parpol.

Sementara itu, calon pemilih tetap saja enggan diajak mengikuti rapat terbuka tanpa adanya ”ongkos kehadiran” dan ”dress code gratis” dari Parpol. Warga juga enggan berpartisipasi dalam kampanye jika tanpa hiburan artis terkenal.

Menyikapi fenomena kelesuan calon pemilih terhadap kampanye terbuka kali ini, ada baiknya Parpol segera berbenah dan melakukan autokoreksi. Sudah cukup pantaskah mereka mendapatkan amanat rakyat yang terlanjur sering dibohongi?. Sudah realistiskah kontrak politik yang mereka ajukan? Dan sudah mampukah mereka memberikan suri tauladan yang baik bagi rakyat? Rakyat tidak buta. Masih lekat di ingatan kita, disaat warga korban Lapindo terengah-engah bertahan hidup, para pemimpin yang mereka pilih pada pemilu silam malah asik berbalas pantun. Faktor-faktor inilah yang membuat warga memilih apatis pada pemilu kali ini.

Yang terbaik dilakukan saat ini adalah parpol harus aktif menjemput bola dan turun langsung menyambangi akar rumput. Saat ini hubungan caleg dan rakyat laksana romantika dua sejoli. Tatkala seorang gadis terlalu sering disakiti, maka jangan harap di berikan kesempatan kedua. Karenanya, sang jejaka harus aktif mengambil hatinya agar mendapat kesempatan sekali lagi.

Perlu disadari bahwa apatisme warga pada pemilu kali ini bukan apatisme yang kekal. Apatisme kali ini adalah akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap wakil rakyat yang dinilai telah gagal. Jika Parpol/Caleg mampu mengambil hatinya, atau paling tidak dapat membuktikan janji-janjinya, bukan tidak mungkin masyarakat akan kembali meramaikan pesta demokrasi pada pemilu berikutnya tanpa diminta. Apatisme warga ini hendaknya juga dimaknai sebagai punishment (hukuman) sekaligus pelajaran berharga terhadap wakil rakyat supaya jangan lagi bermain-main dengan kepentingan rakyat.

Dinamika lain yang terbaca dari fenomena kelesuan ini adalah tidak adanya korelasi langsung antara keikusertaan atau ketidakikutsertaan dalam pencontregan terhadap perbaikan nasib mereka. Toh, mereka akan tetap menderita atau (bahkan) lebih menderita lantaran pemimpin baru yang terpilih sama saja dengan pemimpin sebelumnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pemimpin baru berarti penggusuran baru.

Seyogjanya, bolehlah kita bisa mencontoh pelaksanaan pemilu di Amerika beberapa waktu silam. Ribuan warga Amerika tumpah ruah memadati pusat kampanye untuk mendengarkan orasi calon pemimpinnya. Mereka sangat menyadari bahwa nasibnya akan sangat dipengaruhi oleh siapa pemimpin yang akan terpilih. Kesadaran seperti inilah yang harus kita bangun.

Rif’an Zaenal Ehwan, mahasiswa Pendidikan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang
dimuat di suaramerdeka.com pada 01-04-2009,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar